Suasana Rumah Makan Taman Selera di
jalur pantura, Indramayu, Jawa Barat, mirip terminal bus. Rumah makan
seluas 4 hektar ini didirikan Rusdi Safri dari Sumpur. | KOMPAS
Perantau pergi berbekal tekad dan tulang. Belasan tahun kemudian, mereka pulang membawa ”emas”. Begitulah jalan yang dilalui sejumlah juragan warung minang.
Lepas malam di Losarang, Indramayu, Jawa Barat, awal Agustus. Rusdi Safry (48), pemilik RM Taman Selera duduk di sudut area parkir rumah makan yang amat luas. Ia ditemani sahabat sekaligus asisten utamanya, Yunus. Mata mereka mengikuti puluhan bus Sinar Jaya yang keluar masuk area parkir. ”Kalau bus semakin banyak, area parkir sebelah situ akan dibuka,” kata Rusdi menunjuk lahan parkir kosong di salah satu dari enam unit rumah makannya.
Meski berstatus juragan, setiap malam—terutama di musim mudik Lebaran—ia nongkrong di area parkir, bukan duduk manis di ruang kerjanya yang nyaman dan dilengkapi monitor CCTV. ”Dengan begini saya tahu apakah saya perlu memperluas lagi area rumah makan,” ujar Rusdi.
Area Taman Selera sudah amat luas, totalnya mencapai 4 hektar dengan 200 karyawan. Namun, Rusdi akan terus memperluas rumah makannya jika diperlukan. Untuk berjaga-jaga, ia telah membeli beberapa petak tanah di belakang dan samping Taman Selera.
Bagaimana perjalanan Rusdi hingga di titik itu? Cerita bermula ketika Rusdi pergi meninggalkan kampungnya, Sumpur, di tepian Danau Singkarak untuk merantau ke Jakarta tahun 1979. Ketika itu usianya baru 14 tahun. Sempat berkelana ke Lahat, ia akhirnya ”terdampar” di RM Citra Rasa milik pamannya. ”Saya bantu- bantu cuci piring. Itu pekerjaan pertama yang harus dilakukan perantau yang numpang di warung minang,” kenangnya.
Setelah beberapa bulan cuci piring, Rusdi ”naik pangkat” menjadi pembuat minuman, lalu pengambil piring kotor, penghidang, dan akhirnya juru masak, jabatan tertinggi dalam struktur pekerja di warung minang. Tahun 1988, ia membuka rumah makan sendiri. Ia sempat jatuh-bangun sebelum sukses menjadi juragan rumah makan minang dengan area terluas di Indramayu, bahkan mungkin Indonesia.
Dari kampung yang sama, Nedy (42) bertolak ke Indramayu tahun 1986 ketika usianya baru 15 tahun. Bekalnya cuma alamat RM Citra Rasa. Seperti Rusdi, ia memulai kariernya sebagai tukang cuci piring. ”Tangan dan kaki tak pernah kering, sampai terkena kutu air. Biar tak dikerubungi lalat, sewaktu tidur saya pakai kaus kaki. Eh, kaus kaki lengket ke lukanya, sakitnyaaa...”
Siksaan cuci piring itu baru lepas setelah Nedy sengaja berjalan terpincang-pincang di depan pemilik Citra Rasa yang juga pamannya. Ia pun dimutasi ke bagian pembuat kopi. ”Kalau enggak panjang akal, bisa 2-3 tahun cuci piring ha-ha-ha,” ujarnya.
Lepas dari Citra Rasa, Nedy membantu kerabatnya Rusdi di Taman Selera. Ia dipercaya menjadi kepala karyawan hingga memegang kasir. Setelah 10 tahun bekerja, ia membuka warung makan sendiri bernama Singgalang Jaya. Belakangan, ia bikin satu lagi rumah makan bernama Alam Wisata. Keduanya ada di pantura. ”Modalnya dibantu Pak Rusdi.”
Bustaman (70), juragan Restoran Sederhana, juga memulai kariernya sebagai tukang cuci piring sebelum mendirikan Restoran Sederhana yang kini punya 100 cabang lebih di seluruh Indonesia.
Banyak akal
Bagaimana mereka bisa sesukses itu? Rusdi menceritakan, kesuksesannya ditentukan oleh hubungan simbiosis mutualisme dengan mitranya, PO Sinar Jaya. Ketika pertama kali membuka warung, hanya ada 39 bus Sinar Jaya yang mampir. Lama kelamaan bus itu bertambah hingga sekarang 400-an. ”Saya pun harus menambah area parkir supaya bisa menampung bus Sinar Jaya. Enggak terasa tiba-tiba sudah 4 hektar ha-ha-ha.”
Kemitraan itu langgeng sampai sekarang lantaran Rusdi melayani kebutuhan Sinar Jaya, termasuk awaknya. Ia, misalnya, menyediakan ruang makan ber-AC khusus untuk 800-an awak bus yang singgah. Mereka makan dan minum sepuasnya dan diberikan rokok gratis. ”Untuk biaya rokok saja setiap hari kami habis Rp 4,8 juta. Sebulan jadi Rp 144 juta, setahun Rp 1,7 miliar.”
Ia menyediakan bengkel gratis untuk bus yang perlu perawatan darurat. Ia juga turun tangan jika ada bus Sinar Jaya yang mengalami kecelakaan di wilayah sekitar Taman Selera. ”Pernah terjadi kecelakaan dengan beberapa korban tewas. Kami membantu uang santunan untuk korban.”
Komitmen Rusdi dibayar Sinar Jaya dengan membawa ribuan penumpang singgah di Taman Selera setiap hari. Jika satu bus berisi 30 penumpang saja, maka sehari ada 12.000 tamu datang dan berbelanja. Kalau musim mudik, Taman Selera melayani 35.000 orang lebih. Itu baru penumpang Sinar Jaya saja.
Tahun 2003, ketika terjadi kemacetan parah di pantura selama hampir dua hari saat musim mudik Lebaran, Taman Selera diserbu puluhan ribu pemudik yang kelaparan. Setiap kali mengeluarkan makanan, langsung tandas. ”Hari itu persediaan ayam kami tinggal 2 kuintal, pasti tidak cukup untuk makan ribuan orang,” kenang Rusdi.
Ia pun menelepon pemasok ayam, daging, dan beras langganannya. Namun, mereka tidak sanggup mengirim pesanan pada hari itu juga lantaran kemacetan menggila. Tidak habis akal, ia kerahkan anak buahnya keliling kampung di sekitar warung untuk membeli ayam dan sapi yang diternak warga. Hari itu, mereka berhasil mengumpulkan 4 ton ayam dan tiga ekor sapi. Semuanya dimasak dan tandas disantap pengunjung.
Panjang akal menjadi mantra sukses. Itu pula yang menyelamatkan Nedy dari kebangkrutan. Dua bulan setelah buka warung, penghasilannya nol. Begitu masuk bulan puasa, saat sopir bus dibebaskan oleh perusahaannya untuk memilih tempat makan sahur, Nedy bergerilya membujuk awak bus agar singgah di warungnya. Ia melayani mereka sebaik ia bisa. ”Alhamdulillah, parkiran kami sampai penuh sesak.”
Jaringan Minang
Nedy juga memanfaatkan betul jaringan Minang. Begitu ia tahu pemilik PO Ranau Indah orang Sumpur, Nedy segera mengontaknya. Ia menemui Antoni, pemilik PO Ranau Indah, di Terminal Bus Bekasi. ”Hanya butuh setengah jam bincang-bincang, besoknya bus-bus Ranau Indah yang melintasi Indramayu sudah mampir ke rumah makan saya.”
Antoni yang ada di sebelah Nedy tersenyum dan menimpali, ”Begitu saya tahu Pak Nedy orang Sumpur, saya tutup mata dan tanda tangan proposalnya, ha-ha-ha.” Ia tidak meminta keuntungan apa-apa dari kemitraan itu. Ia hanya minta Nedy ikut mengurus bus Ranau Indah di wilayah ”kekuasaannya”.
”Pintu saya selalu terbuka buat orang-orang sekampung. Saya ingat kata-kata ayah, jika saya membantu teman sekampung, ia akan ikut membangun kampung kami setelah ia sukses,” tambah Antoni.
Di Nagari Sumpur yang terletak di tepian Danau Singkarak, genaplah kata-kata Antoni. Bersama Rusdy, Nedy, dan perantau lainnya, ia pulang kampung awal Juli lalu untuk menghadiri pertemuan besar yang membicarakan upaya membangun Nagari Sumpur. Pembawa acara menyebut mereka sebagai ”yang terhormat para perantau”. Mereka juga disambut anak- anak muda dan panitia pembangunan masjid terbesar di Sumpur yang belum rampung.
Begitulah, kesuksesan para juragan itu menjadi pembenar sebuah pepatah Minang, pai mambaok kanti, pulang bagalang ameh. Pergi merantau berbekal seadanya, pulang kampung membawa emas.
Sumber :
KOMPAS CETAK